Muhammad ‘Azmi Robbani Jakfar
Opini – Pulau Madura dikenal sebagai pulau yang gersang dan tandus, oleh sebab itu watak orang Madura dikenal keras dan bicaranya yang blak-blakkan, watak ini senada dengan tradisi yang sangat dikenal di Indonesia, tradisi ini bernama tradisi carok, carok sendiri merupakan tradisi sebagai jalan keluar dalam permasalahan, biasanya terkait dengan asmara dan harga diri, tradisi carok juga erat dengan kaitan-Nya dengan tindak kekerasan dan kriminal, kata carok sendiri diambil dari bahasa kawi yaitu e’cac’ca e rok-korok, atau dibunuh dan dimutilasi atau dalam arti lain adalah perkelahian.
Kasus carok yang terjadi pada awal tahun 2024, Desa Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Carok yang terjadi Jumat. 12 Januari 2024 yang menewaskan 4 orang. Keempat korban yakni Matterdam, Mattanjar dan Najehri yang merupakan warga Desa Larangan Timur. Sedangkan Hafid berdomisili di Desa Bumi Anyar, tentunya kasus carok di Madura ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Menurut sumber yang penulis kutip dari media internet, bahwa sebenarnya carok yang terjadi di Kabupaten Bangkalan bukanlah kali pertama kasus carok yang menggemparkan, jauh sebelum itu menurut penuturan dari D Zawawi Imron, yang mana beliau juga dikenal sebagai budayawan dan sastrawan Madura Asal Sumenep mengungkapkan, bahwa di Kabupaten Pemekasan Pernah juga terjadi carok sekitar 18 tahun, dimana dikatakan saat itu bahkan korban mencapai sekitar 30 orang, bahkan dikasus-kasus lain-nya carok sering terjadi ketika adanya pemilihan kepala Desa, bahkan khusus didaerah Madura, pengaman PILKADES begitu sangat lengkap, hingga aparat gabungan bersenjata lengkap dikerahkan saat hari pemilihan.
Melihat kondisi ini kemudian penulis mencoba untuk memberikan opini nya, apakah carok saat ini masih relevan dengan zaman, mengingat sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum” maka atas dasar ini semua hal yang ada haruslah tunduk terhadap Hukum yang berlaku (undang-undang).
Carok dalam praktiknya sangatlah bertentangan dengan sistem hukum yang ada, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kemudian disingkat KUHP, carok dapat dikatakan sebagai sebuah tindak kejahatan, sebab dalam Pasal 354 KUHP: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. (pelaku), bahkan dalam Pasal 340 KUHP yang menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Jika dilihat dari isi pasal ini maka sangatlah relevan apabila kemudian carok dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak kejahatan, sebab dalam carok pastilah ada yang merenggang nyawa, dan sebelumnya ada penganiayaan dari pemenang carok (pelaku), dalam berapa kasus yang ada carok juga berakhir dengan sebuah hukuman penjara atau pidana seperti pada kasus yang terjadi pada Januari di Kab. Bangkalan dimana pelaku dapat diancam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana, pelaku diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara, meskipun dalam beberapa versi berita juga dikatakan bahwa pelaku diancam dengan pasal lain, akan tetapi disini penulis berpendapat bahwa Pasal 340 KUHP, adalah pasal yang paling tepat diterapkan dalam kasus ini jika kita berkaca pada kronologi kejadian yang ada. Terlepas dari putusan yang ditetapkan oleng pengadilan.
Terlepas dari pembahasan diatas carok selalu menuai perdebatan dan kontroversial di kalangan masyarakat dan para ahli, ada yang mengatakan bahwa sebenarnya carok, bukanlah tindak pidana sebab Pasal 18 B UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan dalam kitab undang-undang hukum pidana terbaru ( Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang nantinya akan berlaku pada tahun 2026 mendatang. Di sebutkan dalam Pasal 2, ayat (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Jika kemudian carok masuk dalam hukum adat maka seharusnya carok tidak masuk dalam tindakan pidana, sebab negara menyebutkan pada pasal diatas adalah “menghargai dan Menghormati hukum adat yang hidup di masyarakat .namun menurut yang penulis ketahui dari budayawan Madura bahwa “carok yang ada saat ini bukanlah carok yang ada sebagai tradisi / hukum adat, sebab carok yang dilakukan saat ini terkenal dengan sebuah pengeroyokan dan dan tindakan kriminal serta sangat berbeda dengan carok yang ada sebelum abad ke 20.” Maka menurut hal ini, dapat dikatakan bahwa carok saat ini sudah tidak relevan dengan zaman dan sudah dianggap bukan termasuk dalam hukum adat, sebab cara carok saat ini dan zaman dahulu sangatlah berbeda. Jika dahulu carok memiliki prosedur yang ada sebelum adanya perkelahian dan selain itu jika kita melihat kotruksi pada pasal diatas maka carok dapat dikategorikan Sebagai pelanggaran HAM, tentunya tradisi adat tersebut juga sudah tergolong sebagai pelanggaran hukum. Dalam sistematika hukum, pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh tradisi adat tergolong sebagai tindak pidana dan pelanggaran undang-undang.
Maka dapat disimpulkan oleh penulis dari pembahasan yang ada diatas, bahwa sebenarnya carok adalah hukum adat sebelum abad ke-20, terlepas dari abad itu kemudian carok sendiri sudah tidak masuk dalam hukum adat, sebab telah terjadi perbedaan konstruksi dalam pelaksanaan carok yang ada saat ini dengan yang ada di masa lampau. Oleh sebab itu kita sebagai warga Madura sudah seharusnya mulai kembali melakukan pembenahan dan mengembalikan carok yang ada sebelum abad ke-20, sehingga carok bukanlah hanya sebagai tindak kriminal dan sebuah pengeroyokan yang sangat jauh dari nilai-nilai hukum adat yang telah ada, terlepas dari perbedaan padangan mengenai carok itu sendiri.
Penulis : Muhammad ‘Azmi Robbani Jakfar